Forum itu kasih pencerahan banget, walau di bawah kategori gosip, tapi gak nyangka ternyata isinya mereka yang mengerti sastra dan orang-orangnya terutama yang saat ini sedang bermasalah. Sastra bukan budaya populer yang digemari banyak pihak. Sastra bukan mainstream. Jadi, yang tadinya hanya iseng memuaskan penasaran siapa itu sitok, yang ramai dibincangkan banyak kalangan, saya jadi terjun bebas menyelami halaman demi halaman di thread tersebut, forum yang baru saya sadari mutunya. Bukan berisi orang-orang yang asal komen, mengejar post pertama, sekedar gaul, mengikuti perkembangan.

Dari sana, saya baru sadar kalau ternyata sudah jadi rahasia umum kalau anatara satu pihak dan kekuasaan saling berhubungan dengan pihak lain. Jadi senetral-netralnya teks, lihat lagi siapa yang ada di belakangnya. Yup, sesuai judul, kasus Sitok ini rupanya bukan hanya urusan dia dan korbannya, atau keluarganya yang di sini menunjuk diri (juga) sebagai korban, pun tempat di mana Sitok bernaung – Salihara, tetapi juga menyeret nama-nama lain, komunitas, jaringan.

Jatuhnya sepak terjang Sitok sampai dia harus mengundurkan diri dari komunitasnya di Salihara, rupanya menjatuhkan juga citra Gunawan Muhammad (GM), rekan sejawatnya yang adalah pendiri Tempo, koran yang kami sekeluarga dulu berlanggangan (sebagai mantan anak pers yang gk jadi jurnalis gara-gara memilih kerja sesuai bidang studi), penulisan Tempo lebih idealis dan praktis (gak berat), pas dan sesuai. Saya pikir, termasuk media yang berimbang karena tidak terlihat kepentingannya, bukan politis. Ah, tapi pandangan itu sekarang harus dikubur.

Sebagai orang media yang mengerti kode etik jurnalistik, yang menjunjung tinggi berita proporsioal, berimbang dan tidak berat sebelah, GM justru membela habis temannya itu. Lewat media yang dikuasainya, koran itu.. ah malas ceritanya. Langsung tekapeh aja http://www.tempo.co/read/news/2013/11/30/064533555. Tokoh selama ini yang mempunyai nama besar, ikut terseret skandal besar. Pantaslah mengapa medianya seringkali berurusan di meja hijau, dengan dewan pers, dan bredel. Ada pemberitaanya yang tidak berimbang. Menusuk jika memang musuh bersama, melempem ketika lingkarannya yang diserang.

GM, disebut-sebut karena ia sebagai pendiri Salihara dan termasuk Sitok di dalamnya, dengan tulisan-tulisannya yang humanis, pluralis, rupanya sebelas-duabelas dengan pe[ri]laku Sitok. Lihat saja hasil karyanya yang tidak jauh dari birahi. Sitok: Persetubuhan Liar, Anak Jadah (Sama sekali belum baca). GM: https://groups.google.com/forum/#!msg/soc.culture.indonesia/AAgEGW8_qKE/bmi5M636OtgJ Bukan bermaksud mendiskredit salihara dan orang-orang di dalamnya, hanya sepertinya di sana memang sudah membudaya seks bebas, sebebas paham yang mereka agung-agungkan, seberbudaya retorika yang jatuhnya parodi diri. Membungkus busuknya lendir. Buat mereka, bertukar pasangan atau berbagi pasangan bukan hal yang sulit. Saya bisa bayangkan di lingkungan yang cukup tahu sama tahu, saya rasa keluarga terdekat sendiri sudah tahu kelakuan pasangan masing-masing, hanya mereka mafhum, yah mau diapain lagi… Konon malah ada yang bilang, Widardi pemilik Femina Grup yang merupakan istri GM, pun melakukan hal yang sama. Hmmm, open marriage… jadi inget Farah Quinn and the husband 😉

============================================================

Kasus Sitok yang membawa nama besar Salihara otomatis selain GM, komunitas mengatasnamakan seni ini pun kena, dan sedikit menyerempet ke afiliasinya yang lain. Yang kucuran dana asinglah, yang media penyebar liberalislah. Saya sendiri kurang tahu persis sepak terjang Salihara di dunia sastra, tapi kalau menyimak anak-anak gosip di sana, Salihara boleh dibilang dominasi di perkancahan kesastraan saat ini. Banyak menjebolkan penulis-penulis baru yang karyanya malang melintang di grup-grup besar, sampai menghadirkan istilah sastra wangi, hmmmm T_T

Ibarat penerbitan, tiap grup pasti punya visi dan misinya sendiri yang bisa dilihat dari bacaan-bacaan yang dicetaknya (Mizan dengan ideologi religinya, GPU dengan bacaan popularnya, Jalasutera dengann wacana filsafat, dan seterusnya). Nah, dalam dunia persusatraan, di sini pun ada pemetaannya sendiri, di mana dulu kita kenal istilah angkatan pujangga lama dan baru, kini kita punya grupies lain.

Tambahan dari salah satu member di forum itu,
untuk tambahan biar tambah hot mengenai pertarungan dunia persusastraan di indonesia.
bila diibaratkan negara2 di dunia, salihara tu merupakan amerika karena mereka memang sama2 liberal dan sedang menjadi adikuasa / adidaya di dunianya masing2.
kalo horison itu seperti inggris yg agak konservatif dan clasik.
sebenarnya salihara dan horison ini sama2 turunan dari manikebu, karena dedengkotnya salihara (gunawan mohamad) dan horison (taufik ismail) dulu anggota manikebu.
kalo boemipoetra ini adl rusianya sastra indonesia, karena secara ideologis adl sosialis, dan boemipoetra ini memang bisa dikatakan sbg anak ideologis lekra yg sedang berusaha membangun kembali kejayaannya setelah kekalahannya di perang dingin antara manikebu vs lekra.
kalo FLP itu ibaratnya cina, karena seperti juga cina yg penduduknya banyak dan tersebar luas FLP ini juga membernya paling banyak dan tersebar luas sampai ke luar negeri.

Jadi inget dulu banget, pas jaman kuliah 4 thn lalu (udah tuir bok), pernah satu kali ke komunitas itu, salihara*. Katanya ada diskusi, makanya pada ngikutlah kita seorganiasi menemani teman satu ini yang memang hobi banget dateng ke acara-acara mereka. Yang kita tahu, jiwa seninya memang begitu, seneng banget datang ke TIM, menghadiri pertunjukan sana-sini, cuma yah itu hanya di tempat-tempat itu saja, suatu waktu bercerita dari salihara, suatu waktu diskusi di Utan Kayu, yang kita tahu pasti dia itu fansboynya Gusdur 😀

*Waktu itu sehubung kita habis ada acara organisasi selesai malam-malam, sekalianlah kita sekali-sekali jalan mengikuti ajakan teman, ke salihara. Lupa waktu itu daerah mana (buta peta jakarta euy), datang kesana jam 10 acara belum dimulai padahal sudah dijadwalkan, molor menunggu tamu/narasumber yang jauh dari luar kota, wakil dari kerajaan Goa kalau gak salah. Mengamati peserta/penonton yang hadir saat itu, sepertinya mereka pengagum setia, sangat kenal dan bersorak sekali setiap disebut nama-nama berdatangan. Kita yang baru tahu sekalinya ini, bengang-bengong ngelihat mereka dan pertunjukan yang sama sekali gak menggunggah ketertaikan, eh memang bukan pertunjukan sih tapi semacam diskusi terbuka. Tau-tau kita pulang dini hari, jam 2-3. Nginep di rumah teman, seumpah ini sekali-kalinya kita keluyuran malam. Kalau nginep-nginep di villa ngurusan agenda organisasi sih udah gak kaget.